Kamis, 14 Januari 2010

Hikayat Tram Atjeh dan Impian Panglima Prang

Namanya Ali Bahrul. Umurnya sudah renta, 94 tahun. Di kampungnya di Desa Pante Pisang, Kecamatan Peusangan, Bireuen, Ali Bahrul lebih dikenal sebagai Pang Ali Gelanggang Labu. Embel-embel “Pang” di depan namanya adalah sebuah jabatan yang pernah ia disandang puluhan tahun lalu: Panglima!
Ali Bahrul memang seorang panglima perang. Pang Ali pernah memimpin 50 tentara sukarela yang diberi nama Pasukan Mujahiddin. Mereka terjun ke berbagai medan pertempuran. Salah satu yang paling membekas di benaknya adalah ketika terjun ke pertempuran Medan Area di Tanjung Pura dan Langkat, perbatasan Aceh – Sumatera Utara pada 1946.

Bersenjatakan parang, lembing, dan 12 pucuk senjata hasil rampasan, Pang Ali dan pasukannya berangkat dengan kereta api dari Bireuen ke Tanjung Pura. Tiga hari di sana, pasukan itu disiram peluru oleh tiga pesawat tempur Belanda. “Seorang anak buah saya terluka, yang lain selamat karena kami sembunyi di parit penuh air,” kenang Pang Ali.

Jika biasanya ingatan menjadi masalah bagi pria renta, Pang Ali adalah sebuah pengecualian. Meski sudah renta, ingatannya masih tajam. Dengan bangga ia mengisahkan keterlibatannya dalam sejumlah pertempuran dengan pasukan pendudukan.

Selain menghalau Belanda, Pang Ali juga tak tinggal diam saat Jepang masuk ke Aceh pada 1942. Suatu hari, Pang Ali melihat seorang serdadu Jepang menyandang senjata, patroli sendirian di Krueng Panjoe. Saat itu, timbul niatnya merampas bedil itu. Sayangnya, Pang Ali sedang tangan kosong. Siasat pun di atur. Mereka lantas bersembunyi di sumur tua yang kering. Agar tak terlihat, Pang Ali menaruh daun kelapa kering di atas kepalanya. Dari celah-celah daun itulah Pang Ali mengintip aktivitas si Jepang.

Daun kelapa di atas kepala Pang Ali menghalangi pandangan si “saudara tua”. Saat si Jepang semakin dekat, Pang Ali dan kawannya sontak melompat, menerjang si Jepang. Hasilnya, sepucuk senjata berhasil dirampas. Tentara Jepang itu lantas diseret ke markas mereka. “Si Jepang itu lalu kami suruh pulang. Baju seragamnya kami ganti dengan baju biasa,” kenangnya sambil terkekeh.

Semua kisah itu tinggal kenangan. Di usia senja, Pang Ali kini menghabiskan sisa usianya bersama anak dan cucu-cucunya di sebuah rumah berdinding kayu yang sebagian sudah dimakan rayap. Di rumah, ia punya tempat khusus: sebuah bale-bale. Di sana, ia betah duduk sembari memutar kenangan hidup di tiga zaman berbeda. “Saya sudah merasakan hidup di zaman penjajahan dan zaman kemerdekaan,” ujarnya.

Sebagai veteran perang, Pang Ali memang mendapat jatah bulanan dari pemerintah. Setiap bulan, ia mengaku mendapat Rp 470.000 alias Rp 16.000 per hari. “Kalau disuruh memilih, jauh enak hidup di zaman Belanda daripada sekarang,” ujarnya.

Di zaman Belanda, kata Ali, harga barang murah dan stabil. Selain itu, jika hendak bepergian, ada sarana tranportasi murah meriah: kereta api. “Sekarang semua serba mahal, dan perang masih berlangsung,” ujarnya.

***

Berkat perjuangan Pang Ali dan pejuang lain di Aceh, enam puluh tahun sudah Belanda angkat kaki dari Aceh. Kesepakatan Teungku Daud Beureueh dan sejumlah ulama lainnya untuk bergabung dengan Indonesia pada Oktober 1945 menjadi babak baru dalam sejarah Aceh. Sejarah mencatat, kemesraan Aceh dengan Pemerintah Indonesia tak berlangsung lama. Sejak itu, perang seolah enggan beranjak dari Aceh.

Tak heran jika Aceh tak sempat berbenah. Perekonomian morat-marit. Kemiskinan terus membelit provinsi ini. Padahal, Aceh pernah jaya berkat perdagangan cengkeh ke seantero dunia. Di awal kemerdekaan, saat propinsi lain tak mampu berbuat banyak, Aceh tampil menyumbang dua pesawat dan duit US$ 250 ribu untuk Republik, termasuk siaran radio.

Pertengahan Juli lalu, saya memulai perjalanan dari Banda Aceh menuju Langkat, perbatasan Aceh dan Sumatera Utara. Menyusuri sepanjang pantai Utara hingga Timur Aceh, saya melewati 8 kabupaten/kota: Aceh Besar, Pidie, Bireuen, Lhokseumawe, Aceh Utara, Langsa, Aceh Timur dan Aceh Tamiang. Di lintasan itulah dulu Belanda bercokol. Bahkan, jalan raya yang menghubungkan Banda Aceh – Medan adalah peninggalan Belanda (dengan pergeseran ruas jalan di sejumlah tempat).

Tak gampang menemukan saksi hidup yang bisa mengisahkan detil kehidupan masa penjajahan. Di Beureunuen, kota kecil sekitar 35 kilometer arah Timur Sigli, ibukota Kabupaten Pidie, saya menemui Mansoer Ismail, bekas ajudan Teungku Daud Beureueh, gubernur Aceh pertama.

Di usia 106 tahun, daya ingat Abu Mansoer memang sudah lemah. Berkali-kali ia harus berpikir keras mengenang masa lalu. Meski begitu, ia tak pernah melupakan saat Daud Beureueh memerintah dirinya mengutip emas dan uang dari rakyat yang kelak dipakai membeli dua pesawat bagi republik. “Tangan inilah yang mengumpulkan uang dan emas dari rakyat,” ujar Mansoer sambil mengepal tangan kanannya.

Menurut Mansoer, kemakmuran Aceh masa lalu menyebabkan ia tak sulit mengumpulkan uang. “Yang miskin pun ikut menyumbang meski alakadarnya,” ujarnya.

Itu cerita dulu. Sekarang, Aceh adalah provinsi termiskin di Sumatera dan kedua paling melarat di sekujur Indonesia. Simaklah statistik berikut ini: pada 1990, Aceh menyumbang 3,6 persen untuk Produk Domestik Bruto (PDB), sepuluh tahun kemudian melorot menjadi 2,2 persen. “Sekarang, sayur-sayuran saja mesti diangkut dari Medan,” kata Mansoer.

Sepanjang perjalanan, memang banyak sawah di kiri kanan jalan. Tapi, tak sedikit yang terlantar karena tak tergarap optimal. Di Aceh Timur, jejeran hutan sawit terhampar di kiri kanan jalan. Tapi, ya itu tadi, banyak yang terlantar. “Konflik bersenjata di sini membuat orang tak berani berkebun,” ujar seorang warga yang saya temui di sebuah warung kopi di Peurelak, Aceh Timur.

Dengan fakta itu, tak heran jika di sektor pertanian, Aceh hanya menyumbang tak sampai tiga persen dari hasil agrikultur nasional. Mahalnya biaya transportasi diyakini sebagai salah satu penyebab masyarakat harus merogoh kocek lebih dalam. Simaklah cerita Abu Mansoer. Masa Belanda, kata dia, masyarakat memasarkan hasil bumi dari satu kota ke kota lainnya memakai kereta api.

“Barang-barang itu ditumpuk di gerbong-gerbong kereta api. Kami hanya membayar sekedarnya saja,” ujar Abu Mansoer. Hasil bumi yang diangkut diantaranya kelapa, cengkeh, lada, getah karet dan padi.

Bunyi tut…tut…tut…dari cerobong kereta api yang saat itu masih memakai lokomotif uap hanya bertahan hingga 1976. Setelah itu, pengangkutan barang dari dan ke Aceh, praktis hanya menggunakan truk.

Selain untuk angkutan barang, kereta api juga digunakan warga untuk bepergian dari satu daerah ke daerah. Ongkosnya, tentu saja lebih murah dibanding menggunakan bus umum. Waktu tempuhnya memang memang relatif lama. Bila berangkat pagi dari Banda, kereta baru tiba di Sigli saat matahari hampir terbenam. “Sekarang kan hanya butuh waktu dua jam,” kata Mansoer.

Mansoer kecil sering berangkat sekolah dari kampungnya di Jangka Buya ke Meureudu menggunakan Bomel Tram alias kereta lambat. “Kalau Senel Tram (kereta cepat) biasa dipakai orang-orang kaya,” ujarnya.

Menurut Abu Mansoer, kereta api Aceh yang oleh Belanda dinamai “Atjeh Tram” dibangun pada 1901. Menurutnya, pembangunan kereta api adalah salah satu upaya Belanda melemahkan perlawanan rakyat. “Itu untuk mengesankan Belanda berbuat baik untuk masyarakat Aceh,” ujar Mansoer.

Bagi Belanda, kata Mansoer, rel kereta api yang di bangun dari Kutaraja (Banda Aceh) ke Sigli melintasi Gunung Seulawah hingga Besitang melalui Pantai Utara dan Pantai Timur juga bertujuan memudahkan menghadapi para gerilyawan. Karena itu, “tak jarang para pejuang merusak rel kereta,” kata Mansoer.

Belanda juga membangun sejumlah stasiun kereta api sepanjang Kutaraja – Kuala Simpang. Di antaranya di Seulimum, Sigli, Meureudu, Samalanga, Bireueun, Lhokseumawe, Lhoksukon, Panton Labu, Idi, Langsa, dan Kuala Simpang.

Tak mudah melacak jejak kereta zaman Belanda. Sepanjang perjalanan dari Banda Aceh menuju Langkat, perbatasan Aceh-Sumatera Utara, saya hanya menemukan sisa-sisa rel kereta api zaman Belanda di Langsa. Selebihnya, raib. “Banyak yang sudah dibongkar warga dan dijual,” ujar seorang warga.

Bekas stasiun kereta api juga telah berubah fungsi atau dibongkar habis.

Memasuki Peusangan, Bireuen, memang ada beberapa lintasan rel kereta api yang baru dibangun. Masa BJ Habibie, pada 1999, pemerintah memang menjanjikan membangun kembali rel kereta api yang menghubungkan Aceh dengan Sumatera Utara. Namun, sampai saat ini, pembangunan rel hanya terlihat di Bireuen dan Aceh Timur. Itu pun terputus di beberapa tempat. Di Peusangan, Bireuen, rel kereta api yang baru dibuat telah dipotong-potong dan ditumpuk di depan pos polisi.

Sukardi Usman, 56 tahun, warga Desa Pante Pisang, menjadi saksi ketika pekerja membangun rel-rel kereta api di depan rumahnya. Saat itu, Sukardi berpikir, tak lama lagi ia akan kembali merasakan naik kereta api, seperti yang pernah dirasakannya. Tapi, harapan ini hanya tergantung di awang-awang. “Banyak uang yang terbuang sia-sia untuk membangun rel kereta api ini,” ujar Sukardi. Ia menilai, janji pembangunan kembali rel kereta api tak lebih sebagai janji politis pemerintah pusat untuk meredam perlawanan daerah, hal yang menurut Mansoer pernah dilakukan Belanda

***

Siang itu, matahari memancarkan sinar terik di langit Kuala Simpang. Hawa panas membuat Ridwan, 80 tahun, bertelanjang dada. Pria yang sehari-hari mengumpulkan sampah di bekas stasiun kereta api Kuala Simpang –kini terminal minibus– sedang beristirahat di pojok terminal. Hidup Ridwan tampaknya tak bisa lepas dari stasiun kereta api itu. Dulu, ketika kereta api masih ada, Ridwan bekerja sebagai buruh bongkar muat. “Setiap ada kereta yang datang, saya pasti dapat uang,” kenangnya.

Ridwan tak lama merasakan hidup di zaman Belanda. Tapi, ia merasa hidup di zaman Belanda lebih bersahabat daripada sekarang. “Mungkin karena umur saya sudah tua,” ujarnya. Kata Ridwan, meski Belanda sempat menguasai Kuala Simpang, ia tak pernah mendapat kesulitan berarti. “Mereka bikin hal-hal yang menarik hati masyarakat di sini,” ujarnya.

Di Kuala Simpang, tak sulit menemukan bangunan-bangunan khas Belanda: berdinding tebal, pintu dan jendela serba besar dan ditopang penyangga kokoh. Sebagian bangunan itu dipakai untuk kantor pemerintahan, sebagian lainnya dijadikan toko.

Senada dengan Ridwan, Tengku Djubir, salah satu bekas pasukan Mujahidin yang ikut mengusir Belanda mengaku, hidup di zaman Belanda lebih tenang. “Yang paling susah hidup di zaman Jepang. Orang kampung semua makan ubi karena tak ada persediaan makanan,” ujarnya.

Ketika Pangkalan Brandan, Sumatera Utara dibumihanguskan, Zubir dan kawan-kawan bersiap-siap melakukan hal serupa di Kuala Simpang. “Itu untuk mencegah Belanda masuk ke Kuala Simpang. “Kota Kuala sudah dikepung oleh tentara kita untuk dibumihanguskan. Tapi tidak jadi karena Belanda tidak jadi datang,” ujarnya. Tak hanya itu, mereka juga memotong batang-batang karet yang tumbuh subur di daerah itu. Penyebabnya, kata Zubir, Belanda hanya menginginkan daerah yang bisa diangkut hasil buminya.

Belanda memang menambah pasukan di Kuala Simpang. Rantiah, 90 tahun, warga Desa Langkat-Tamiang, perbatasan Aceh- Sumatera Utara, menjadi saksi ketika pasukan Belanda hilir mudik di daerah perbatasan. “Mereka ada yang jalan kaki, naik kuda, ada juga yang naik mobil,” ujarnya.

Meski begitu, Rantiah yang ketika itu berjualan sayur di depan rumahnya di pinggiran jalan raya, tak merasa terganggu dengan kehadiran pasukan Belanda. “Mereka tidak pernah ganggu kami. Bahkan kadang-kadang beli sayur disini,” ujarnya.

Tentu saja itu salah satu sisi saja dari kehadiran Belanda. Masyarakat di Alas, Gayo, atau Pidie yang dibantai pasukan Marsose pimpinan Van Daalen dan Van Heutzs tentu punya cerita lain.

Namun setidaknya bagi nenek delapan cicit ini, tak pernah ada gangguan keamanan di daerahnya sejak dulu hingga kini. Itu sebabnya, warga di daerah itu, hidup tenang.

Syawaluddin, 36 tahun, warga perbatasan yang rumahnya masuk wilayah Aceh juga merasakan hal serupa. Meski rumahnya berjarak 20 kilometer dari perbatasan, Syawaluddin merasa lebih tenang jika sudah berada di perbatasan. “Di daerah kita (Aceh) selalu ribut, makanya kita tidak maju-maju walau sudah merdeka,” ujar pria yang sehari-hari bekerja sebagai tukang bangunan itu.

Syawaludin mungkin benar. Perekomian terkait erat dengan kondisi keamanan. Catatan sejarah menunjukkan, ekonomi Hindia Belanda mengalami kemacetan pada periode 1880-1900. Ini adalah masa ganasnya perang kolonial di Aceh setelah sebelumnya dihantam Java Oorlog alias Perang Jawa melawan Diponegoro (1835-1830). Pertumbuhan ekonomi baru dicapai pada 1990–1930 ketika pertempuran yang menguras banyak biaya itu mereda.

Kondisi itu seolah merujuk pada kondisi Aceh terkini. Perang berkepanjangan antara Gerakan Aceh Merdeka dengan Jakarta telah memporak-porandakan seluruh sendiri kehidupan.

Di Pante Pisang, Peusangan, Pang Ali, bekas panglima prang itu, masih menyimpan sebuah harapan: Hidup tenang dengan harga barang yang murah. [ T a m a t ]


by : Yuswardi - Aceh,
2005-08-18 09:48:00

1 komentar:

  1. mas yogi, terima kasih telah memasang tulisan saya di blog anda. Semoga bisa sedikit memberi gambaran tentang apa yang terjadi di masa lampau, lalu menjadikannya pelajaran untuk masa kini.

    Jika ada rencana mampir ke aceh, silahkan kontak saya via facebook: yuswardi a suud atau via twitter: yuswardi_ali

    salam
    yuswardi-aceh

    BalasHapus

kasih komen yah...