Kamis, 03 Februari 2022

"TEUNGKU CHIK DI TUNONG"


Rencong dan Pedang dalam Kisah Tragis Pembantaian Belanda di Meurandeh Paya.
Sebuah strategi dirancang Teuku Cut Muhammad atau Teungku Chik Di Tunong dan pasukannya kala melihat 17 pasukan Belanda beristirahat di sebuah meunasah. 

Lalu, penyerangan dimulai dan serdadu marsose dibantai dengan rencong dan pedang.
26 Januari 1905, satu patroli Belanda dengan kekuatan 16 orang di bawah pimpinan Sersan Vollaers berpatroli untuk memburu gerilyawan Aceh. 

Dia sudah sangat berpengalaman dalam patroli, karena itu tidak melakukannya di malam hari.
Setelah patroli sehari penuh, Vollaers dan pasukannya mencari tempat yang dianggap aman untuk beristirahat.

Mereka singgah di meunasah Gampong Meurandeh Paya (kawasan Lhoksukon, Aceh Utara) yang halamannya cukup luas sehingga dapat digunakan untuk mendirikan bivak. Pasukan Belanda istirahat dalam bivak,

Sementara Vollaers istirahat di dalam meunasah sambil membaca buku.
Karena merasa aman, mereka membiarkan orang-orang Aceh keluar masuk dalam perkarangan bivak, termasuk ke dalam meunasah. 

Pedagang buah-buahan, telur ayam, dan sejumlah makanan datang menawarkan barangnya kepada pasukan Belanda. Sebuah kebiasaan, warga Aceh selalu membekali diri dengan pedang dan rencong.

Setelah para pedagang masuk dan situasi memungkinkan, salah satu di antara mereka memberikan komando untuk menyerang tiba-tiba. Dari 17 tentara Belanda, hanya satu yang selamat setelah melarikan diri, 16 lainnya tewas dengan luka bacokan pedang dan tikaman rencong.

HC Zentgraaff dalam bukunya 'Atjeh' (1838), menggambarkan, dengan suatu gerakan yang sangat cepat, semua orang Aceh yang ada di tempat itu memainkan pedang dan rencongnya, menusuk dan menebas leher serdadu Belanda.

Sasaran pertama adalah Vollaers sendiri yang sedang tidur-tiduran di dalam meunasah sambil membaca buku.
Satu yang selamat berhasil menuju Lhokseumawe, memberi kabar buruk ke markas Belanda.

Bala bantuan dikirim ke Meurandeh Paya dipimpin Kapten Swart. Tapi di sana yang mereka temukan hanya 16 jenazah yang tercincang secara mengerikan. Mayat Sersan Vollaers terdapat di dalam meunasah dengan buku bacaan tergeletak di sampingnya.
Belanda melakukan penyelidikan.

Hasilnya diketahui bahwa penyerangan itu tidak dilakukan secara tiba-tiba, tapi sudah direncanakan jauh-jauh hari. Belanda meyakini otak di balik serangan adalah Teuku Cut Muhammad alias Teungku Chik Di Tunong.

Belanda berhasil menangkapnya pada 5 Maret 1905 ketika menuju Lhokseumawe oleh Letnan Van Vuuren, dan dijebloskan ke penjara.
Keterlibatan Teungku Chik Di Tunong dalam penyerangan tersebut kemudian terbukti.

Pemerintah Belanda menjatuhkan hukuman tembak mati kepadanya.
Sebelum menjalani hukuman tersebut, Teungku Chik Di Tunong meminta kepada Belanda agar dapat bertemu untuk terakhir kalinya dengan istrinya, Cut Meutia, serta Teuku Raja Sabi.

Anaknya yang masih berusia lima tahun. Selain untuk melepas rindu dan salam perpisahan, pertemuan itu digunakan Teuku Chik Di Tunong untuk memberikan wasiat pada Cut Meutia.

Ada tiga permintaan yang disampaikan Teungku Chik Di Tunong pada Cut Meutia waktu itu.

1. memintanya melanjutkan perjuangan melawan Belanda.

2. mendidik anaknya Teuku raja Sabi menjadi seorang pejuang dan kemudian sayang sekali beliau terbunuh oleh Pusa dan T.P.R. sampai kini kuburan beliau pun tidak di ketahui.

3. serta meminta Cut Meutia untuk bersedia menikah dengan Pang Nanggroe, panglima perang yang selama ini mendampinginya dalam berbagai peperangan melawan Belanda.

Setelah Teungku Chik Di Tunong wafat, istinya Cut Meutia menjalankan amanat itu. Bersama Pang Nanggroe terus menggelorakan perang melawan Belanda di kawasan Aceh Utara.


Source :
Ditulis oleh H.M. Zainuddin Dalam Aceh Tanah Reuncong Tahun 1966.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

kasih komen yah...