Selasa, 08 Februari 2022

"KESULTANAN ACHEH"



Acheh, yang sejak tahun 1500, sudah berdiri sebagai sebuah negara yang merdeka dan berdaulat.
Dalam sejarahnya yang panjang itu, Acheh telah mengukir masa lampaunya dengan begitu megah dan menakjubkan, terutama karena kemampuannya sebagai pembina peradaban bangsa-bangsa di kawasan Dunia Melayu; pola dan sistem pendidikan militer yang mampu memompa semangat heroisme dan patriotisme tidak terkecuali kaum wanitanya; komitmennya dalam menentang setiap bentuk dan kaedah kolonialisme-imperialisme, kapitalisme; sistem pemerintahan yang teratur dan sistematik; mewujudkan pusat-pusat pengkajian ilmu pengetahuan tentang ilmu duniawi dan ukhrawi; kemampuannya dalam menjalin hubungan diplomatik dengan negara lain, hingga kemudian disadari oleh ahli sejarah dunia bahwa apa yang telah diperankan oleh bangsa Acheh dapat diteladani oleh bangsa dan negara manapun di dunia ini.

Memang benar, sejak tahun 1411, Acheh telah membina hubungan dagang dengan negeri Cina semasa dynasti Ming. Untuk melihat adanya bukti kukuh mengenai hubungan kedua negara, dapat disaksikan lonceng “TJAKRA DONYA” sebagai cenderamata dari Cina, yang kini ditempatkan depan pintu gerbang museum di Bandar Acheh.

Sebelum terjadi hubungan diplomatik antara Cina dengan Acheh, pernah terjadi peperangan antara kedua negara. Pada waktu itu pasukan tentara Laut Cina dipimpin oleh seorang Wanita muda bernama Nio Nian Lingké, atau yang lebih dikenali sebagai Putroe Nèng. Nio Nian Lingkè, yang juga dikenal sebagai seorang ahli sihir ini pada awalnya berhasil menguasai beberapa Mukim di Acheh, akan tetapi kemudian pasukannya dikalahkan oleh tentara Acheh yang dipimpin oleh panglima perang Johansyah. Difahamkan bahwa Putroe Néng ini akhimya masuk Islam dan menikah dengan Johansyah. Peristiwa ini berlaku pada tahun 1400-an.

Kejayaan Acheh mencapai puncaknya pada abad ke-16-17. Untuk melihat bagaimana kemegahan itu, patut disimak ucapan Prof. Wilfred Cantwell Smith, dalam bukunya: Islam in Modem History, 1975, p.38, berkata: ‘Pada abad ke-16,‘Dunia Islam sudah menjadi berkuasa kembali, kaya raya, mewah dan penuh kebesaran. Orang-orang Islam pada masa itu di Maroko, Istanbul, Isfahan, Agra dan Acheh - adalah pembina-pembina sejarah yang besar dan sangat berhasil”.

Ucapan Wilfred sangat beralasan sekali, sebab Acheh dalam sejarahnya telah berhasil memukul mundur kekuatan Portugis (yang ketika itu merupakan negara terkuat di dunia) dari Selat Melaka yang ingin menjarah ke seluruh kepulauan Melayu. Kejadian ini dilukiskan dalam LA GRAND ENCYCLOPEDIE bahwa: “Pada tahun 1582, bangsa Acheh sudah meluaskan kekuasaannya atas pulau-pulau Sunda (Sumatera, Jawa, Borneo dan lain-lain), atas sebagian dari Tanah Semenanjung Melayu, danbmempunyai hubungan dengan segala bangsa yang melayari Lautan Hindia, dari Jepang sampai ke Arab. Sejarah peperangan yang lama sekali dilancarkan oleh bangsa Acheh terhadap bangsa Portugis yang menduduki Melaka sejak permulaan abad 16, adalah halaman-halaman yang tidak kurang kemegahan dan kebesarannya dalam sejarah bangsa Acheh. Pada tahun 1586, seorang Sultan Acheh menyerang Portugis di Melaka dengan sebuah Armada yang terdiri dari 500 buah kapal perang dan 60.000 tentara laut.”

Serangan ini adalah dalam upaya membela maruah, mempertahankan kedudukan dan wibawa bangsa-bangsa Melayu baik di Sumatera maupun di Semenanjung. Diketahui bahwa antara tahun 1547,1568,1579,1586 dan 1629 adalah merupakan masa-masa yang sangat kritikal dalam usaha menentukan siapa pemenang dalam perang panjang dan meletihkan itu. Panglima perang Portugis, Diego Lopez de Fonesco, telah berhasil dibunuh oleh pasukan elite tentara Acheh. Benteng pertahanan Portugis, Gereja Sint John, yang oleh Melayu lebih dikenali sebagai Sang Yoang dan Gereja Madre de Dios, telah sepenuhnya dikuasai. Benteng pertahanan terakhir ialah Gereja Sint Paul Hill, atau lebih tenar dengan sebutan “Formosa” (yang menang). Dalam benteng ini Portugis terkurung dan bertahan. Kota Melaka selama 5 bulan sudah berada dalam genggaman tentara Acheh. Bagaimanapun ketika itu Portugis berhasil mengirim kurirnya untuk meminta bantuan dari Sultan Pahang. Akhimya tentara Pahang berkomplot dengan Portugis menyerang tentara Acheh me1alui laut. Kapal-kapal perang Acheh di pantai dibakar oleh tentara Pahang-Portugis, hingga peperangan ini terjadi satu lawan satu.

Untuk dimaklumi bahwa: “sekutu yang amat diandalkan Portugis pada waktu itu ialah Sultan Pahang. Pahang yang dahulu pernah diserang dan ditakluki oleh Acheh, tidak merasa senang jika Acheh menguasai tanah Melayu. Portugis bagi Pahang adalah sandaran kuat, sebagaimana Belanda jadi saudara Johor, dan sewaktu-waktu Pahang dan Johor pernah diperintah oleh satu Sultan”. Prof. Dr. Hamka, Dari Perbendaharaan Lama, 1981, hlm 177, Pustaka Kuala Lumpur.

Tidak lama kemudian datang pula tambahan kekuatan tentara upahan Portugis dari Johor, Jawa, Goa dan India. Kemenangan dan kekalahan silih berganti antara dua kekuatan ini. Itulah sebabnya Portugis menyebut Gereja Sint de Hill sebagai “Formosa”. Alkisah menceritakan bahwa, Melaka pada akhimya takluk kepada Portugis sampai tahun 1641, sementara Acheh Sumatera selamat dari penjajahan Portugis. Terlalu mahal harganya bangsa Acheh membayar untuk mempertahankan maruah bangsa Melayu, khususnya di Semenanjung. Sebab jika tulang-belulang 60.000 tentara Acheh dijadikan tiang, maka ianya dapat memagari seluruh pantai Semenanjung tanah Melayu.

Riwayat seterusnya mengisahkan bahwa, ketika pasukan Belanda melakukan kudeta kepada Sultan Acheh, yang dipimpin oleh Comelis de Houtman dan Frederick de Houtman pada tahun 1599. Tentara Acheh ketika itu dapat melumpuhkan kekuatan armada Belanda dan Sultan Alaudin Riayat Shah (1588-1604) yang berkuasa ketika itu, telah menjatuhkan hukuman bunuh kepada Comelis de Houtman yang dieksekusi langsung oleh Laksamana Malahayati dengan rencongnya sendiri, sementara saudaranya, Frederick de Houtman ditawan beserta dengan seluruh anak buahnya sebagai tahanan perang, yang masing-masing dijatuhi hukuman selama sepuluh tahun. Baca “Oede Glorie”, karangan Marie C. Van Zegelen.

Kejadian ini dilaporkan Sultan Acheh kepada Kerajaan Belanda. Sehubungan dengan peristiwa itu Kerajaan Belanda telah mengirim surat permintaan ma’af secara resmi. Dalam kasus ini, Sultan Acheh telah berlaku arif dan bijaksana dengan membebaskan dan semua tahanan pulang dan diserahkan oleh Tengku Abdul Hamid, Duta besar Acheh di negeri Belanda.

Selain daripada itu, dalam sejarahnya Acheh memberi kebenaran kepada kapal-kapal dagang dan perang Perancis yang dipimpin oleh Panglima perang Beaulieu, untuk menggunakan Pelabuhan Acheh sebagai pangkalan untuk memperbaiki kapal-kapal yang rusak.

Dalam lapangan diplomatik dan perdagangan, Acheh juga telah mencatat sejarah yang sangat penting, sebab Sultan Alaudin Riayat Shah (1588-1604) menyadari akan arti pentingnya kedudukan dan peranan Selat Melaka sebagai satu-satunya lintasan dagang yang paling ramai di dunia. Maka Kerajaan Acheh telah membuat perjanjian mengenai: Jaminan Keamanan, Cukai dan Peraturan Lalu Lintas Dagang di Selat Melaka, dengan Kerajaan Inggeris, pada tahun 1603. Perjanjian tersebut telah diperbaharui kembali tahun 1819, atas pertimbangan politik dan ekonomi pada kurun masa itu yang lebih menekankan kepada pertahanan keamanan di Selat Melaka. Ini suatu petunjuk bahwa Kerajaan Acheh mempunyai pengaruh dan peranan dalam menentukan strategi ekonomi dan militer di Selat Melaka, sebab diketahui bahwa Sumatera sebenarnya sangat mahal nilainya berbanding pulau-pulau lain di kawasan Dunia Melayu. Untuk melihat bagaimana kuasa Acheh pada masa itu terbukti bahwa ketika Belanda ingin membuka Konsulatnya di Padang Minangkabau, Belanda mesti meminta izin dari Sultan Acheh.

Seperti telah ditulis oleh seorang ahli sejarah Perancis bahwa: “Pada abad ke 17, Sultan Achehlah yang berdaulat atas seluruh pulau Sumatera dan tidak ada sanggahan atas kenyataan itu dari pihak manapun juga. Acheh tidak memerintah langsung seluruh Sumatera tetapi yang diperintah langsung ialah tepi pantainya dan perdagangannya. Menurut Beaulieu, Acheh memerintah langsung separuh pulau Sumatera dan yang terkaya yang lain di bawah kerajaan-kerajaan yang dilindungi Acheh. Dan di Semenanjung Tanah Melayu kerajaan dibawah lindungan Acheh ialah Kedah, Pahang dan Perak”. Denys Lombard, Le Sultanat d‘Atjèh au Temp d’Iskandar Muda, p.98.

Dalam lapangan pembinaan kesusasteraan dan Ilmu Agama, Acheh telah melahirkan beberapa Ulama ternama, yang karangan mereka menjadi rujukan utama dalam bidang

masing-masing, seperti:

Hamzah Pansuri (1575-1625) dalam bukunya “TABYAN FI-MARIFATI AL-U

ADYAN",

Syamsuddin al Sumatrani (1630) dalam bukunya “MI’RAJ al-MUHAKIKIN AL-IMAN=

Nuruddin Arraniry (1658) dalam bukunya “SIRAT AL-MUSTAQIM- BURTANUS

AL-SALATIN”;

Syeh Abdul Rauf Singkili (1693) dalam bukunya “MI’RAJ AL TULABB FI

FASHIL”, “MA'RIFAT AL-AHKAM ‘ASH-SHAYYAH LI MALI AL WAHAB”

DAN “UMDAT AL MUHTAJlM’“’

Pada masa itu bangsa-bangsa di kawasan dunia Melayu telah memakai perundangan Acheh -Qanun Al Asyi- di Brunei Darussalam dan di Kerajaan Melayu Borneo. Antara Acheh dengan bangsa Melayu yang lain saling mempunyai ikatan kultural, agama dan adat-istiadat. Kerukunan antara sesama serumpun begitu mesra dan harmoni, khususnya antara Acheh dengan Semenanjung Malaysia, apalagi: “setelah dinobatkannya Iskandar Sani (Putra Raja Pahang yang diambil menantu oleh Iskandar Muda) menjadi Sultan Acheh sesudah mangkat Iskandar Muda (1636) membuatnya menjadi simbol yang hidup dari kerukunan antara Acheh dengan Semenanjung Tanah Melayu yang sangat menguatkan silaturrahim antara Acheh dengan Raja-raja Tanah Melayu. Pada tahun 1638/1639, menurut Kitab Bustanus-Salatin, Iskandar Sani mengirim Armada besar bukan untuk berperang tetapi untuk membawa batu-batu nisan dari pualam berukir yang dibuat di Acheh untuk menghiasi makam-makam/kuburan Ayahanda/ibunda dan keluarga di Pahang. Perintah Sultan Iskandar Sani kepada armada Acheh: ‘Pergilah ke Pahang dan hiasilah makam Ayahanda/ibunda kami dan

kerabat dengan batu-batu nisan itu diangkut dengan arakan-arakan megah sepanjang jalan, diiringi oleh pasukan musik di bawah ratusan payung dan kibaran bendera Acheh. Perarakan itu memakan masa berbulan dalam perjalanan.

Selama masa Iskandar Sani, hubungan Acheh dengan Semenanjung Tanah Melayu amat harmonis sekali dan tidak pernah dikirim tentara dan armada untuk mengamankannya. Hubungan baik antara Tanah Melayu dengan Acheh yang dijalin semasa Iskandar Sani kekal beberapa abad lamanya” Denys Lombard. Le Sultanat d’Atjèh au Temp d’Iskandar Muda p.94.

Sebagai suatu bangsa dan negara yang berdaulat, Acheh selalu dipandang oleh bangsa asing khususnya Inggeris dan Belanda yang mempunyai kepentingan politik dan ekonomi di Sumatera- tetap memelihara hubungan baik dengan kerajaan Acheh. Hal ini ditandai dari isi Traktat London, tahun 1824 yang antara lain menyebut : Belanda dan Inggeris tetap tidak akan mengganggu gugat kedudukan Acheh di Sumatera dan hubungan baik selama ini terbina tetap dikekalkan.

Akan tetapi formula traktat London, 1824, dimana Belanda mengambil alih kuasa Inggeris di Sumatera (Bengkulu), Belanda agaknya merasa tersekat dengan peranan dan kedudukan Acheh yang kuat di Sumatera. Sejak itulah Belanda sudah mulai menunjukkan sikap tidak jujur kepada kerajaan Acheh.

Sesudah Belanda membuat perjanjian dengan Sultan Siak, tahun 1858, keadaan sudah mulai tegang, sebab dengan ditanda tanganinya perjanjian ini, maka Sultan Deli dan seluruh sultan-sultan di pesisir Timur dan Utara Sumatera tunduk kepada Belanda. Karena itu Sultan Acheh menjawabnya dengan mengirimkan kapal-kapal perang untuk mengadakan ronda di perairan Selat Melaka untuk memberi isyarat supaya Belanda jangan bersikap kurang ajar di Sumatera. Keadaan politik semakin bertambah tegang setelah Belanda mengadakan perjanjian dengan Sultan Deli tahun 1858, tanpa sepengetahuan Kerajaan Acheh. Dalam perjanjian tersebut antara lain disebut bahwa Sultan Deli mesti memutuskan hubungan politik dengan Kerajaan Acheh dan hasil bumi Deli hanya dapat diperjual belikan antara Sultan Deli dengan Belanda.

Pada tahun 1870, Pemerintah Hindia Belanda yang berpusat di Jawa, sudah membuat rencana untuk melakukan serangan kepada kesultanan Acheh, akan tetapi ramai penasehat militer dan sipil Belanda melarang, kalau bisa jangan! Sebab Acheh adalah bangsa yang berani berperang. Gubernur Jenderal Hindia Belanda sendiri -Loudon-pada awalnya berkata: “Wilayah kekuasaan kita di Hindia Timur sudah begitu luas sekali dan sekarang susah untuk diawasi. Memperluas wilayah kekuasaan, sama artinya dengan menambah runyam dan dapat menghancur masa depan kita di wilayah Hindia Timur”. Bahkan Multatuli sempat mengirim surat kepada Raja Belanda, katanya: “Gubernur-Jenderal dan Paduka yang Maha mulia sudah siap sedia, pada saat ini, untuk menyatakan perang kepada Sultan Acheh, dengan alasan pura-pura yang dicari-cari dan diada-adakan, paling banyak atas dasar yang tidak benar yang dikarang-karang, sebagai ‘provokasi’ semata-mata. Pernyataan perang atas kerajaan Acheh itu dengan niat untuk merampas kedaulatan dari Sultan Acheh dan merampok segala harta pusakanya. Paduka Yang Mulia, ini adalah perbuatan yang tidak membalas budi, yang tidak bersifat mulia, yang tidak mempunyai kehormatan, dan yang tidak patut” October, 1872 (Paul Van ‘t Veer, Atjéh Oorlog, p 39.

Untuk melicinkan niatnya, Belanda mengajak Inggeris untuk menanda tangani suatu perjanjian dengan Inggeris yang isinya: bekas jajahan Belanda di Afrika (Gold Coast -sekarang Ghana) diserah kepada Inggeris dan jajahan Inggeris di Sumatera diserah kepada Belanda. Untuk mengusasi seluruh Sumatera jika perlu Belanda akan, memerangi Acheh. Perjanjian ini ditanda tangani tahun 1871. Ketika itu seorang anggota Parlemen Inggeris Lord Standley Aderley, seorang bangsawan Inggeris telah membantah dan menolak isi perjanjian itu. Katanya: “Belanda tidak mempunyai alasan dan tidak mempunyai sebab untuk menyerang Acheh yang tidak berbuat apa-apa kepada Belanda. Sekarang Belanda sudah menyerang Negara Acheh, dan digagalkan. Kejatuhan Acheh akan menyebabkan kehancuran kemuliaan kita di seluruh Asia Timur dan Asia Tenggara; kekecewaan besar akan dirasa oleh warga Inggeris di Asia Tenggara dan oleh orang-orang Melayu di Malaysia yang kesan baik dari mereka adalah sangat penting bagi kita. Perjanjian baru antara Inggeris dengan Belanda ini bukan saja merusakkan kemuliaan Negara Inggeris tetapi juga merusakkan kepentingan ekonomi kita. Sistem pemerintahan Belanda di Jawa bukan saja berlawanan sekali dengan kebebasan perdagangan, tetapi hampir tidak berbeda dari perbudakan -Belanda menamakannya “kerja tidak bergaji’- sehingga tidak ada alasan sama sekali mengapa pemerintah Inggeris mau menolong meluaskan sistem ini sampai ke Sumatera Utara, atau sekurang-kurangnya mengapa tidak dibuat pengecualian untuk Acheh, sebab Negara Acheh berhak mengharap kita tidak melupakan kemerdekaannya yang dari zaman purbalaka, dan sejarah yang gilang-gemilang, sebab Acheh sudah menjadi suatu Negara merdeka ketika Belanda sendiri masih menjadi satu provinsi Spanyol”

Bantahan terhadap perjanjian ini terus dilancarkan oleh beberapa anggota Parlemen Inggeris baik sebelum dan sesudah meletusnya perang antara Acheh melawan Belanda, seperti: Thomas Gibson Bowles telah menjawab dalam Surat kabar LONDON TIMES, 3 Februari, 1874. Katanya: “Perjanjian Belanda-Inggeris tahun 1871 sama sekali tidak dapat membebaskan Pemerintah Inggeris dari kewajibannya menepati janji untuk mempertahankan Acheh menurut Perjanjian Pertahanan tahun 1819. Maka adalah suatu pelanggaran umum yang luar biasa dan hina sekali untuk menolak menepati kewajiban yang timbul dari Perjanjian yang sudah ditanda tangani itu” (THE TIMES, London, 3 Februari, 1874, p.10)

Selanjutnya Surat kabar VANITY FAIR, 12 September, 1874, telah mengeluarkan tajuk rencana mengenai Perjanjian Pertahanan Acheh-Inggeris yang sudah dikhianati itu: “Dikatakan bahwa Inggeris adalah neutral dalam perang ini, tetapi Belanda dibiarkan menggunakan wilayah jajahan kita di sini sebagai basis operasi menyerang Acheh. Jadi Inggeris bukan saja tidak membantu Acheh, sebagai kewajibannya menurut perjanjian, tetapi ia memberikan kepada Belanda segala bantuan untuk menaklukan Acheh. Sudah pasti ini adalah puncak dari pengkhianatan. Dan Perdana Menteri baru, Tuan Disraeli, sesudah menyela Perdana Menteri yang lama, Tuan Gladstone, dalam perkara ini, sekarang dia sendiri berbuat demikian: membantu Belanda menundukkan Acheh. Walaupun demikian masih banyak orang menyangka bahwa dalam demokrasi semua dapat diperbaiki dan diubah dengan menggantikan satu Kabinet dengan Kabinet baru, partai Pemerintah dengan Oposisi. Suatu bangsa sudah menjadi rendah sekali apabila ia tidak perduli lagi kepada kehormatannya dan kepada perkara-perkara seperti ini.

“Perkara kenyataan dalam soal ini tidak mungkin ada perdebatan: sebab semuanya adalah terang-benderang. Inggeris terikat dengan Perjanjian Pertahanan untuk mempertahankan Acheh. Mula-mula Lord Granville berusaha menolak perjanjian itu. Lord Debry, yang seharusnya memperbaiki nama negerinya dan bangsanya tetapi berbuat sebagai orang-orang yang digantinya. Mereka adalah pantas menjadi Menteri-menteri dari suatu bangsa yang sudah hilang perasaan kehormatannya”.

Belanda beranggapan bahwa bangsa Acheh mempunyai mentalitas yang sama dengan bangsa-bangsa lain di dunia Melayu, dan tetap akan memerangi Acheh, sebab satu-satunya bangsa di Sumatera yang tidak pemah menjadi bahagian dari Nederland East Indie kini mesti ditakluki. Maka pada 26 Maret, 1873, Gubernur Hindia Belanda yang berpusat di Jawa, menyatakan Perang kepada Sultan Mahmud Shah yang dilengkapi dengan “Ultimatum” yang berisi:

Acheh menyerah kalah dengan tanpa syarat;

Turunkan Bendera negara Acheh dan kibarkan benderra Belanda warna merah, putih biru;

Hentikan perbuatan melanun di Selat Melaka;

Serahkan kepada Belanda sebahgian Sumatera yang berada dalam lindungan Sultan Acheh;

Putuskan hubungan diplomatik dengan Khalifah Osmaniyah di Turki.

“Ultimatum” yang dihantar oleh Sumo Widigdjo -manusia Jawa sontoloyo- ini ditolak mentah-mentah oleh Sultan Acheh, maka terjadilah perang melawan Belanda pada 4 April 1873.

Bagaimana peperangan itu terjadi, sudahpun ditulis oleh LONDON TIMES, pada 22 April 1873 sebagai berikut: “Suatu kejadian yang luar biasa dalam sejarah penjajahan baru sudah terjadi di kepulauan Melayu, Suatu kekuatan Eropa yang besar sudah dikalahkan oleh tentara anak negeri, tentara Negara Acheh. Bangsa Acheh sudah mencapai kemenangan yang menentukan. Musuh mereka bukan saja sudah kalah tetapi dipaksa lari”

Surat Kabar THE NEW YORK TIMES, 6 Mei, 1873 menulis: “Suatu pertempuran berhunur darah sudah terjadi di Acheh. Serangan Belanda sudah ditangkis dengan penyembelihan besar-besaran terhadap tentara Belanda. Panglima Belanda sudah dibunuh dan tentaranya lari lintang-pukang. Kekalahan Belanda itu dianggap hebat sekali dan ini terbukti dengan terjadinya debat yang hebat dalam Parlemen Belanda di Den Haag, dimana seorang anggota Parlemen sudah menyatakan bahwa kekalahan di Acheh ini adalah permulaan dari kejatuhan kekuasaan Belanda di Dunia Timur”

Dari rangkaian peristiwa inilah sehingga New York Times, 15 Mei 1873 menulis bahwa: “Now the Achehnese aducation of the present generation of Christendom may be said to have fairly begun”

Sudah tentu ulasan New York Times, didasarkan kepada fakta sejarah yang dilengkapi dengan bukti-bukti kukuh. Walaupun ulasan tersebut dalam rangka menyambut kemenangan tentara Acheh melawan serdadu Belanda dalam perang Acheh, pada 4 April 1873, namun jauh sebelum itu Acheh memang sudah dikenal mahir berperang, terutama dalam kurun waktu abad ke-16-17.

Kemudian pada 24 Desember, 1873, Belanda kembali menyerang dengan mengerahkan serdadu upahannya dari jawa, Madura, Sunda dan MaIuku, serta menyewa ribuan penjahat dari Penjara Swiss, Perancis dan termasuk penjahat dari Afrika untuk dikerah untuk mempertaruhkan nyawa mereka di Acheh.

Setelah terjadinya perang priode ke II ini, maka perang melawan Belanda tidak berhenti sampai kemudian Belanda melarikan diri dari Acheh tahun 1942. Belanda keok di Acheh!

Peperangan yang panjang dan melelahkan ini telah mengorbankan ratusan ribu nyawa manusia dari kedua belah pihak. Demikian juga dengan dana perang yang sangat besar dikeluarkan oleh Belanda, sehingga menyebabkan semua perusahaan-perusahaan sebagai sumber ekonomi Belanda terpaksa gulung tikar sebagai konsekuensi logis dari perang yang dahsyat dan paling lama dalam sejarah kedua negara.

Bagi Belanda segalanya sudah serba tidak menjadi. Seorang penulis sejarah Belanda mengatakan: “Bangsa Belanda dan negeri Belanda tidak pernah menghadapi satu peperangan yang lebih besar daripada peperangan dengan Acheh. Menurut kurun waktunya, perang ini dapat dinamakan perang delapan puluh tahun. Menurut korbannya -1ebih seratus ribu orang yang mati- perang ini adalah suatu kejadian militer yang tidak ada bandingannya dalam sejarah bangsa Belanda. Untuk negeri dan bangsa Belanda, perang Acheh itu lebih daripada hanya pertikaian militer: selama satu abad inilah persoalan pokok politik internasional, politik nasional, dan politik kolonial Belanda” Paul Van ’ t Veer, De Acheh Oorlog, Amsterdam, 1969, p. 10.

Bangsa Acheh tidak dapat dikalahkan Belanda dengan pendekatan militeristik, sebab bangsa Acheh memandang perang melawan Belanda sebagai perang suci - jihad fisabilillah - yang bermakna orang Acheh akan berlomba-lomba untuk mati syahid menggempur musuh yang diransang dengan aqidah Islam yang sudah masuk ke dalam tulang sumsumnya. Itulah sebabnya perang ini telah melibatkan semua lapisan masyarakat, tidak terkecuali kaum wanitanya. Para Ulama telah menghembuskan roh jihad dalam perang ini. Tengku Thjik di Tiro Muhammad Saman telah memimpin peperangan ini dan diikuit oleh bangsa Acheh serta famili di Tiro yang lain sampai kepada Tengku Tjhik Maat di Tiro yang mati syahid dalam satu peperangan di Alue Bhôt, Pidië, tahun 1911.

Perang terus merebak ke seluruh Acheh. Tengku Mata Ië bersama pasukannya berjuang di sektor Acheh Besar; Tengku Tapa bersama pasukannya berjuang di sektor Timur; Tengku Paja di Bakông bersama pasukannya berjuang di sektor Utara; Tjut Ah dan Tengku di Barat bersama pasukannya berjuang di sektor Barat-selatan; Pang Jacob, Pang Bedel dan Pang Masém berjuang di sektor Tengah; Panglima Tjhik bersama pasukannya berjuang di sektor Tenggara. Akhimya, pada tahun 1942 Belanda angkat kaki dari bumi Acheh dalam keadaan hina. Semestinya Acheh sudah merdeka. Akan tetapi bangsa Acheh sekali lagi hams berhadapan melawan penjajah Jepang. Pada tahun 1945, giliran Jepang pula angkat kaki dari bumi Acheh. Jadi Acheh otomatis sudah merdeka, apalagi Belanda, tidak pernah berani lagi masuk ke Acheh pada ketika itu walaupun seluruh wilayah Nederland East Indie” telah dikuasai kembali pada tahun 1946-1948. Keadaan di Acheh persis seperti dikatakan oleh seorang penulis Belanda. “sedudah tahun 1945 pemerintah Belanda tidak kembali lagi ke Acheh, pada ketika aksi-aksi militer tahun 1946-1947, ketika bagian-bagian besar Sumatera diduduki tidak dilakukan upaya untuk menembus sampai ke Acheh. Di bagian satu-satunya dari Indonesia inilah antara tahun 1945 dan 1950 merdeka sudah menjadi kenyataan. Paul Van ‘t Veer. Perang Acheh, hal. 254.

Bahkan secara jujur dikatakan bahwa: “Acheh bukan Jawa. Sebenarnya sudah terang-benderang bahwa dalam bagian dunia yang secara umum dan tidak berketentuan disebut Hindia Belanda (“Indonesia”) tidak ada suatu kerajaan yang dapat dibandingkan dengan Acheh. Ini kita tahu sekarang ini. Suatu peperangan yang lamanya lebih dari setengah abad, seratus ribu orang mati, dan setengah milyar Belanda abad ke 19 yang mahal itu sudah menjadi bukti dari hal ini. Kita sudah tahu sekarang, tetapi kita tidak tahu itu di tahun 1873. Biarlah kenyataan-kenyataan ini tegak berdiri -jangan disembunyikan- supaya orang-orang di negeri Belanda, atau lebih-lebih lagi di Jawa dapat mengetahui, manusia yang bagaimana bangssa Acheh itu” (Paul Van ‘t Veer, De Atjeh Oorlog, p.76.

Dengan tidak disangka-sangka, terjadilah penyerahan kekuasaan dan kedaulatan dari Belanda kepada pemerintahan bonekanya -regime Indonesia”-Jawa pada 27 Desember, 1949. Dalam penyerahan itu dimasukkan juga Acheh menjadi salah satu bahgian dari “Indonesia”. Padahal Acheh dalam sejarahnya tidak pernah menjadi bahgian dari “Nederland East Indie” dan Belanda sendiri sudah 7 tahun angkat kaki dari bumi Acheh. Penyerahan ini adalah perbuatan melawan hukum -illegal- dan bertentangan dengan Hukum Intemasional dan Resolusi PBB. Mengapa Belanda yang tidak mempunyai hak apapun terhadap Acheh, berani menyerahkan kepada “Indonesia”-Jawa?. Inilah sebenamya akar konflik dan alasan sejarah yang menyebabkan bangsa Acheh tetap memperjuangkan kemerdekaannya.

Source : YUSRA HABIB ABD GANI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

kasih komen yah...